Foto Etnografi Kolonialisme

Baboe Pribumi : Mencari Sebuah Identitas...

Kebudayaan Hindia Belanda pada masa itu tak hanya seperti stereotip gambar litograf seorang nyonya berjalan, memakai kipas sembari membawa buku masmur dipayungi para budaknya yang membawa perlengkapan kotak sirih dan tempolong di siang hari yang panas ke Gereja.

Adalah baboe (sebutan bagi pengasuh atau pembantu perempuan pada masa itu) dan njai, dua sosok wanita yang menjadi nostalgia penting pada mas era Dutch East Indies. Baboe adalah pengasuh sinyo-sinyo Belanda dari kecil sampai remaja, yang meninabobokan sang anak dengan selendang dan cerita legenda Jawa atau cerita hantu-Jawa macam kuntilanak, wewe gombel, endhas glundung, sundel bolong, yang meresap ke alam pikiran anak.

Hubungan anak yang lebih intim dengan pengasuhnya daripada dengan ibunya sendiri disebabkan sisi emosional keibuan didapat dari para pengasuhnya. Itulah sebabnya anak-anak Belanda itu menganggap pengasuhnya adalah ibu kedua di tanah koloni.

Sementara baboe atau pengasuh memenuhi kebutuhan psikologis anak-anak tanpa menjadi ibunya. Itu disebabkan mereka hidup secara nyata di tengah tanah koloni dan timbul kesadaran betapa pemerintah kolonial amat mengeksploitasi pribumi.

Dalam kurun waktu 1905-1915, orkestra dan fotografi meramaikan ekstravagansa masyarakat Indies. Era itu disebut sebagai masa keemasan eksotik Hindia Belanda. Menegaskan bahwa campur aduk nostalgia bau sarung, pubertas, bau peluh, bau kulit sawo matang yang eksotis dan aroma ketakutan ternyata merupakan sumber estetika yang potensial sebuah situasi kekerasan yang begitu lama. Kekerasan yang bernama Kolonialisme...

No comments:

Post a Comment

Popular Post