Bila Yogyakarta punya Sekatenan dan Semarang dengan Dugderan, kota Kudus punya Dandangan. Wujudnya adalah pasar malam dari kawasan Menara Kudus melintasi Jalan Sunan Kudus, rumah kuno kembar milik keluarga Nitisemito (pelopor industri rokok keretek di Kudus), jembatan Sungai Gelis, hingga alun-alun Simpang Tujuh kota. Tradisi puluhan tahun yang membuat kota Kudus bagai tak pernah tidur setiap jelang Ramadhan.
Kata Dandangan sendiri berawal dari bunyi beduk besar di masjid Menara Kudus, ”dang-dang-dang”, menggema setiap pasar malam di kota soto dan jenang itu untuk sambut bulan puasa. Gampangnya, warga pun menyebutnya Dandangan. Konon, puncak malam Dandangan pada masa lampau juga menjadi malam yang ditunggu karena gadis-gadis cantik warga Kudus Kulon (Kudus Lama) pun keluar rumah untuk menikmati Dandangan.
Puncak Dandangan, yaitu pada malam hari jelang esoknya hari pertama puasa, adalah malam yang ramai dan macet. Sebab, selain jalanan penuh oleh para pedagang makanan, minuman, pakaian, dan mainan anak, pada malam itu juga terkenal dengan istilah boboran (barang dagangan yang dijual secara murah di malam penghabisan). Para pedagang yang mremo (berdagang secara musiman) dengan berbagai jenis produk, dari yang modern hingga tradisional, berbaur memberi warna Dandangan. Para pedagang yang membuka lapak berdatangan dari berbagai kota di daerah, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan bahkan dari Jakarta.
Dandangan Kudus pada masa kini telah berganti wajah. Baju dan mainan modern mendominasi wajah Dandangan. Mainan anak tradisional, seperti gerabah tanah liat, gasing bambu, suling, wayang kertas, pistol kayu, dan kapal-kapalan seng, bersaing dengan mainan serba elektronik khas Mangga Dua, Jakarta. Aneka makanan modern, seperti burger gerobak, fried chicken kampung, dan kentang goreng, ikut pula beradu dengan makanan khas Dandangan seperti lontong opor dan nasi kuning. Martabak, bolang-baling, dan yang tak diduga adalah makanan kerak telor Betawi ikut memberi warna Dandangan kian semarak kali ini.
Pihak pengelola, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kudus, seharusnya punya andil agar Dandangan tetap menjadi ciri kota Kudus dengan menyeleksi para pedagang agar tak menjadi pasar kaget pindah tempat, terutama dengan mengedepankan produk tradisional khas daerah setempat. Idealnya, Dandangan dari waktu ke waktu tetap punya makna.
Daniel Supriyono Wartawan Foto, Tinggal di Jakarta
No comments:
Post a Comment