Sebelum pertengahan kedua abad ke 20, orang Tionghoa laki-laki yang sampai ke Jawa tidak membawa keluarga mereka tetapi kawin dengan perempuan pribumi dan menetap. Dalam perjalanan waktu, tumbuhlah satu masyarakat Tionghoa Peranakan yang nyata.
Penyesuaian dan resapan budaya mereka terhadap suasana sosio budaya di era Dutch East Indies, yaitu melalui perkawinan campur yang berlaku di antara kaum-kaum China dan Pribumi pada masa itu. Kaum peranakan biasanya tidak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa China, tetapi menggunakan bahasa setempat.
Pada masa Hindia Belanda, China Peranakan telah mewujudkan satu budaya yang unik dengan mengkekalkan banyak tradisi China, seperti merayakan perayaan Tahun Baru China (Imlek) dengan mengikut budaya lokal dan juga koloni kebudayaan Eurasia (Eropa Asia).
Generasi Nyonyah yang terdahulu masih memakai pakaian kebaya dan kain sarong sebagaimana yang dipakai oleh orang-orang pribumi. Sedangkan generasi Babah menyesuaikan diri dengan kehidupan Indies, lebih berbau tradisi Eropa mulai muncul. Fenomena ini kemudian melahirkan golongan priayi baru, yang memberikan tempat kepada semua kelompok masyarakat, di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Sekalipun kaum Tionghoa Peranakan sebagian terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka tetap terpisah dari golongan-golonganras lainnya, terutama akibat struktur masyarakat kolonial yang dibentuk oleh Hindia Belanda. Golongan Eropa menempati tempat teratas, golongan timur asing (Vreemde Oosterlingen) di tengah dan golongan pribumi (Inlanders) di lapisan bawah.
Pada masa lalu, pesta yang diadakan oleh kaum Tionghoa selalu dimeriahkan gamelan Jawa dan orkes China. Nada-nada dari dua budaya berdampingan dengan harmonis, menyanyikan lagu indah yang bisa dinikmati oleh semua orang. Itulah orang China Peranakan di Indonesia pada masa lampau...
Penyesuaian dan resapan budaya mereka terhadap suasana sosio budaya di era Dutch East Indies, yaitu melalui perkawinan campur yang berlaku di antara kaum-kaum China dan Pribumi pada masa itu. Kaum peranakan biasanya tidak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa China, tetapi menggunakan bahasa setempat.
Pada masa Hindia Belanda, China Peranakan telah mewujudkan satu budaya yang unik dengan mengkekalkan banyak tradisi China, seperti merayakan perayaan Tahun Baru China (Imlek) dengan mengikut budaya lokal dan juga koloni kebudayaan Eurasia (Eropa Asia).
Generasi Nyonyah yang terdahulu masih memakai pakaian kebaya dan kain sarong sebagaimana yang dipakai oleh orang-orang pribumi. Sedangkan generasi Babah menyesuaikan diri dengan kehidupan Indies, lebih berbau tradisi Eropa mulai muncul. Fenomena ini kemudian melahirkan golongan priayi baru, yang memberikan tempat kepada semua kelompok masyarakat, di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Sekalipun kaum Tionghoa Peranakan sebagian terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka tetap terpisah dari golongan-golonganras lainnya, terutama akibat struktur masyarakat kolonial yang dibentuk oleh Hindia Belanda. Golongan Eropa menempati tempat teratas, golongan timur asing (Vreemde Oosterlingen) di tengah dan golongan pribumi (Inlanders) di lapisan bawah.
Pada masa lalu, pesta yang diadakan oleh kaum Tionghoa selalu dimeriahkan gamelan Jawa dan orkes China. Nada-nada dari dua budaya berdampingan dengan harmonis, menyanyikan lagu indah yang bisa dinikmati oleh semua orang. Itulah orang China Peranakan di Indonesia pada masa lampau...
SOLD OUT
No comments:
Post a Comment