Komik djadoel ini sudah berumur 41 tahun, apakah sudah antik ? Ilustrator atau pelukisnya bernama Teguh Santosa, yang diketahui bertempat tinggal di Malang, Tambusa adalah pendahuluan dari cerita yang sudah terbit setahun sebelumnya, yaitu: Mutiara. Penerbitnya adalah U.P. Rosita Djakarta. Komik antik ini mempunyai ciri yang dibutuhkan untuk disebut sebagai C1 (Cetakan Pertama). Pertama adalah gambar sampulnya berbeda-beda untuk setiap jilidnya, ini berbeda dengan yang bukan cetakan pertama, dimana sampulnya hanya satu gambar saja hingga tamat. Yang kedua tebalnya 60 halaman, ini berbeda dengan cetakan kedua dan selanjutnya yang sering lebih tipis atau bahkan dibundel jadi satu buku tebal dengan hanya satu lembar sampul saja. Sebagai cetakan pertama, mutu cetaknya lebih jelas walaupun kertasnya bukan hvs, beda dengan yang bukan C1 gambarnya kadang kurang jelas.
Tokoh-tokoh dalam buku komik antik Tambusa adalah : John Barracuda, James Baharudin, Naga Mas, Si Tjambang Sutra, Maharani dan Mohan.
Jumlah buku : 5
Harga : Rp 300.000,-
Ilustrator komik atau komikus Teguh Santoso hanya berpendidikan SMA 4 Malang. Keahliannya menggambar diasahnya sendiri secara otodidak . Pada tahun 1966 Teguh pindah ke Yogya dan bergabung dengan ”Sanggar Bambu”. Ia belajar menggambar pada Kentardjo, Soenarto PR, dan sastrawan Kirdjomulyo.
Komik pertamanya berjudul SUMA, dibuat pada tahun 1963. Bentuknya memanjang seperti komik Medan. Honornya Rp 10.000, - digunakan untuk membeli sepasang cincin kawin dan menikah dengan Sutjiati teman sekolahnya pada tahun 1964.
Setelah membuat komik Suma pada tahun 1963, Teguh Santosa membuat komik berjudul Paku Wojo pada tahun 1964,
Teguh dikaruniai empat anak: Theaterina Onwardini, Dhani Valiandra, Aprodita Anggraini, dan Dody Syailendra. Jiwa seni menurun kepada Dhani dan Dody yang kuliah di Institut Seni Indonesia.
Darah seni Teguh berasal dari ayahnya Soemarmo Adji dan ibunya Lasiyem yang merupakan seniman ketoprak. Mereka pemilik tobong ketoprak ”Krido Sworo pada waktu itu. Mbah Marmo—sebutan untuk Soemarmo—dikenal sebagai pelukis layar sebagai latar belakang panggung ketoprak.
Waktu SMP, sebenarnya bakat menggambar Teguh belum menonjol. Nyatanya dalam suatu lomba menggambar ia tidak menang, pemenang hiburan saja tidak. Tapi semenjak kelas 1 SMA, bakatnya mulai terlihat. Teguhpun giat belajar menggambar di luar jam pelajaran sekolahnya. Belajarnya di sebuah kelompok bernama Palet Hijau yang didirikan oleh teman-teman dan guru sekolahnya. Disini terlihat bahwa pengaruh lingkungan pada masa remaja cukup menentukan perkembangan karier seseorang.
Namun Teguh memang sudah hebat. Masih menjadi murid SMA pun, ia sudah membuat illustrasi di majalah Djaja Baja Kemudian iapun menjadi seorang illustrator di sebuah koran bernama Gelora di Surabaya. Hal ini terjadi pada tahun 1964. Waktu kerja di Gelora ini, tugasnya juga membuat pula cerita bergambar bersambung. Biasanya dengan tema sejarah, misalnya : Ronggo Lawe, Airlangga, Kertanegara, dsb.
Gajinya kerja di koran Gelora kecil. Oleh sebab itu Teguh menjadi pelukis amplop surat dan menjualnya sehndiri sebagai biaya hidup karena waktu itu ia sudah menjadi seorang suami. Kerja menggambar amplop ini bertahan selama 2 tahun, sampai ketika ia ditarik untuk kerja di majalah Kemuning di Semarang di tahun 1966. Waktu majalah anak-anak ini mengalami gejala kebangkrutan, satu setengah tahun kemudian Teguh mudik kembali ke kampung isterinya Di Kepanjen, sebuah kota kecil, 18km selatan kota Malang. Nah disinilah Teguh membuat komik dengan tekun. Pertama kali komiknya berjudul Madeline dan Tebusan Dosa yang diterbitkan oleh Cahya Kumala.
Posisinya didunia perkomikan Indonesia menjadi kokoh setelah ia membuat komik trilogi : Sandhora (1969) yang terinspirasi dari cerita film seri "Angelique", Episode keduanya berjudul Mat Romeo (1971) dan ditutup dengan Mencari Jejak Mayat Mat Pelor (1974).
Selain trilogi Sandhora, Teguh juga membuat komik trilogi Badai dan Asmara di Teluk Tiram (Juni 1968), Mutiara dan Tambusa.
Setelah itu Teguh membuat komik-komik silat-mistik maupun silat-futuristik dengan gambar-gambar surealis seperti Dewi Airmata, Hancurnya Istana Sihir, Kuil Loncatan Setan, Si Mata Siwa, Mahesa Bledeg, Kamadhatu, Karmapala, dan lain sebagainya.
Setelah sukses, Teguh Santosa akhirnya mendirikan sebuah persewaan buku di rumahnya dikelola oleh isterinya.
Corak lukisan Teguh Santosa memang lain dari yang lain. Ia menyukai "block-block" warna gelap. Karena itu banyak yang mengolokinya sebagai King of Darkness, yang berarti Raja Kegelapan. Gaya gelap seperti ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu perkembangan yang tidak serta merta.
Mula mula corak lukisannya lebih mengarah pada gaya Yogya yang menurut istilah Teguh : sok nyeni . Ia banyak menjiplak gaya illustrasi Ekana Siswaya yang sering dimuat di majalah Minggu Pagi. Waktu itu Teguh masih duduk di bangku SMA. Maklum, sebagai remaja waktu itu rasanya tidak sreg kalau gembarnya tidak nyeni,
Tapi itu hanya satu tahap. Ketika banyak membantu di majalah Djaja Baja, ia dianjurkan untuk menggambar dengan corak illustrasi Kentardjo S. Har atau Mieke SD yang waktu itu banyak ditemui di Penjebar Semangat ataupun buku detektif Naga Mas.
Lalu ia pun banyak belajar dari illustrasi-illustrasi komik barat, seperti Flash Gordon karya Alex Raymond. Dan terutama mengagumi karya karya Taguan Hardjo, cergamis angkatan Medan waktu itu.
Kemampuan Teguh Santosa akhirnya mempesona penerbit komik terbesar di dunia Marvel Comics di New York, Amerika Serikat. Teguh kemudian direkrut sebagai ink-man untuk komik serial Conan, Alibaba, dan Piranha, yang semuanya digarap di dapur Gauntlet Comics di Kanada.
Kemungkinan, Teguh adalah komikus Indonesia pertama, dan mungkin satu-satunya yang mendapat pengalaman internasional.pada waktu itu.
Teguh Santosa terus berkarya sampai kanker ganas menyerang tangannya, saat itu ia hanya bisa menanti ajal tiba. Beliau meninggal dunia pada dini hari 25 Oktober 2000 dan beristirahat dengan damai dekat makam ibundanya di lereng pegunungan Tengger, desa Nongkojajar, Jawa Timur.
Menjelang meninggal dunia, komikus Teguh masih mengigau dalam ketidaksadarannya: ”Keris itu harus dilempar ke lereng Tengger...”
Jumlah buku : 5
Harga : Rp 300.000,-
TERJUAL
No comments:
Post a Comment